Alasan Tersembunyi Mengapa Netflix Selalu Menyelipkan Unsur LGBT
Di masa pandemi ini, serial Netflix seringkali kita percaya sebagai sumber hiburan untuk mengatasi kejenuhan. Namun ada satu hal yang selalu membuat kita heran. (PS: ada hubungannya dengan Mo Salah)
Di bursa transfer Liga Inggris musim 2017-2018, Liverpool membeli penyerang berkebangsaan Mesir yang bernama Mohammad Salah. Di awal kedatangannya, banyak skeptisisme dan ekspektasi yang rendah dari fans klub Merseyside itu. Tanpa seorangpun menduga, di akhir musim ia muncul sebagai top skorer sepanjang masa di Liga Primer Inggris dan secara langsung menjadi legenda hidup di klub itu. Namanya dinyanyikan dan dielu-elukan oleh para supporter “The Reds”.
Dibalik kejadian tersebut, ada fenomena menarik yang diamati oleh para ahli di Stanford University. Mereka mengamati, sejak kedatangan Mo Salah, ada penurunan dalam tingkat Islamophobia (Islamophobia : prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim) dan hate crime kepada muslim di Kota Liverpool. Para ahli tersebut menjabarkan alasannya sebagai berikut :
Kebanggaan Mo Salah dengan identitasnya sebagai seorang muslim, selebrasi ikoniknya dengan sujud syukur dan telunjuk menunjuk ke atas sambil bersyahadat.
Perbedaannya dengan pesepakbola muslim lain seperti Paul Pogba yang tidak menunjukkan tingkat kereligiusan mereka. Gestur keimanan yang ditunjukan olehnya secara publik membekas di pikiran para supporter.
Pengakuan para kolega seperti sang pelatih Jurgen Klopp yang berujar bahwa keimanan Mo Salah menjadi bagian dari jati dirinya.
Selebihnya para ahli dari Stanford itu menambahkan bahwa ini membuktikan kalau kita bisa mengurangi stereotip, pandangan negatif dan primordialisme di masyarakat dengan memperkenalkan publik figur dari golongan minoritas (dalam hal ini golongan muslim di Eropa) . Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa dengan “representasi” berdampak pada memudarnya rasisme dan memperkuat toleransi di masyarakat. Representasi atau representasi budaya adalah upaya mempromosikan nilai nilai untuk menerima keberagaman dan menolak kesukuan atau prejudice.
Gambar: Grafik tingkat kejahatan berbasis rasisme terhadap Muslim di Liverpool yang terus menurun
Kembali ke pertanyaan awal, alasan Netflix menyelipkan konten-konten LGBTQ+ sangat berhubungan dengan studi tadi. Bukan karena SJW atau hal konspirasi lainnya, melainkan perusahaan tersebut ingin membuat semua penontonnya yang berlangganan layanan tersebut merasa terwakili dan tidak termarginalisasi. Golongan LGBTQ+ sudah menjadi bagian masyarakat yang cukup besar di benua Eropa dan Amerika. Konten yang diproduksi pun secara otomatis beradaptasi dengan keadaan ini.
Walaupun begitu, hasil dari strategi ini bervariasi. Banyak tokoh-tokoh LGBTQ+ yang akhirnya disukai dan menjadi ikonik di kalangan penggemar film. Ada juga yang terkesan dipaksakan dan menjadi bulan-bulanan para netizen. Contoh dari representasi yang sukses adalah tokoh Raymond Holt di series komedi Brooklyn 99. Latar belakangnya sebagai kapten kepolisian yang “galak” dan pernah berjuang melawan diskriminasi sehingga banyak fans yang menyukainya.
Pada tahun ini ada contoh lagi di TV series Loki yang sangat populer dimana disebutkan secara santai bahwa si tokoh utama adalah biseksual. Dibalik kesuksesan tersebut, ada implementasi yang gagal dan malah menjadi bumerang. Berbagai TV series seperti Riverdale dan 13 Reasons Why banyak dikritik karena penggambaran karakter LGBTQ yang tidak menarik serta dipaksakan.
Pelajaran yang bisa kita ambil adalah dengan mengaplikasikan hal seperti ini di industri TV dan perfilman Indonesia yang kurang representasi. Seperti suku Papua yang jarang muncul di layar kaca, atau setting film dan televisi yang masih jawasentris. Kita bisa meniru hasil produksi media Malaysia dengan serial ekspor unggulannya yaitu Upin-Ipin. Serial kartun ini mencontohkan dengan baik bermacam-macam suku dan ras yang tinggal di negaranya, bahkan ada tokoh Susanti sebagai penggambaran diaspora Indonesia yang banyak bekerja sebagai TKI di Malaysia. Ini bisa menjadi langkah pertama untuk terbentuknya keharmonisan dengan mengedukasi generasi muda tentang keberagaman dan toleransi di tengah khazanah keragaman di indonesia ini.
-E
Sumber :
https://osf.io/preprints/socarxiv/eq8ca
https://ummaspul.e-journal.id/JENFOL/article/view/425
https://www.dkoding.in/entertainment/tv-web/nine-things-that-make-brooklyn-nine-nine-the-best-show-of-2019/
https://www.huffpost.com/entry/13-reasons-why-13-reasons-why-is-dangerously-problematic_b_590b6df9e4b046ea176ae8e2