Kenapa Facebook Tetap Dominan?
Facebook dengan anak perusahaannya seperti Instagram dan Whatsapp dipakai oleh ratusan juta orang setiap harinya. Kenapa?
Pernahkah kalian penasaran darimana fitur-fitur terbaru di medsos seperti Instagram, Whatsapp berasal? Fitur seperti Instagram Stories yang sangat populer dan konon bahkan lebih banyak digunakan dibanding fitur Posts yang menjadi ciri khas Instagram itu sendiri. Contoh lainnya adalah Reels yang tanpa malu meniru aplikasi TikTok dengan cara penggunaan persis sama. Sudah tertebak? Tentu saja, pada dasarnya mereka meniru aplikasi rivalnya yang terbukti sukses. Stories dan Filter muka mirip “anjing” sebagai ciri khas Snapchat bahkan ditiru begitu saja oleh Instagram.
Mark Zuckerberg pernah berkata,
“Jika kita tidak membuat sesuatu yang akan membunuh Facebook, orang lain yang akan melakukannya. Ini harus menjadi inti dari siapa kita sebagai sebuah perusahaan. Dunia internet itu kejam, hal yang ketinggalan zaman bahkan tidak akan meninggalkan jejak. Mereka menghilang.”
Atas dasar perkataannya ini, ia sangat agresif dalam berinovasi dan mengakuisisi perusahaan yang sedang trending. Sebut saja Instagram, Whatsapp dan banyak lagi. Cuma ada satu perusahaan yang “membangkang” , yaitu Snapchat. Pada tahun 2013, direksi Snapchat menolak tawaran pembelian senilai lebih dari $3 milyar. Setelah itu Snapchat tetap menjadi duri dalam daging bagi Zuckerberg dengan terus “mencuri” mantan user Instagram dan Facebook yang mulai bermigrasi ke Snapchat.
Titik balik terjadi pada tahun 2016, Zuckerberg terang-terangan “mencuri” fitur utama Snapchat dan dibuatlah Stories. Fitur ini langsung diintegrasikan dengan platform-platform terbesar milik Zuckerberg yaitu Whatsapp, Facebook dan Instagram. Dalam sekejap pengguna Snapchat berbondong-bondong kembali ke Instagram. Sementara pengguna asli Facebook dan Whatsapp merasa tidak perlu lagi untuk mengunduh Snapchat. Pada Mei 2017, banyaknya pengguna harian Stories sudah melewati Snapchat. Puncaknya di Juni 2018 ketika Stories telah digunakan oleh 400 juta pengguna harian. Dua kali lipat dari Snapchat dengan 200 juta usernya. Bahkan hingga tahun 2021, Snapchat tetap stagnan dan tidak menunjukkan pertumbuhan berarti dengan pengguna harian “hanya” 280 juta orang.
Masih banyak lagi contoh lain dari hal semacam ini. Dari yang sudah berjalan seperti Facebook Watch yang menyerupai Youtube dengan platform iklan tersendiri, Facebook Gaming dengan fitur utama livestreaming yang lebih dulu dibuat trending oleh Twitch dan marketplace, sebuah platform untuk mempertemukan penjual dan pembeli yang telah dipelopori Craigslist. Semua ini diintegrasikan dalam satu app sehingga terlihat sangat gamblang upaya Facebook untuk “membunuh” kompetitornya.
Pada kuartal ke-2 2021, tercatat Facebook melanjutkan tren ini dengan meluncurkan Bulletin. Sebuah platform newsletter yang terang-terangan “terinspirasi” dari salah satu startup menjanjikan dengan perkembangan pesat bernama Substack. Selama ini, Substack mengambil 10 % dari pendapatan para penulis di platform mereka sebagai biaya operasional. Sementara Facebook mengambil 0% di platform miliknya . Bagaimana ini bisa fair untuk para perusahaan yang masih muda? Mereka tidak bisa melawan kekuatan kapital milik sang raksasa Facebook. Terdapat juga indikasi Facebook dengan sengaja menyabotase aplikasi rivalnya. Mereka membayar para influencer untuk mendiskreditkan dan tidak membuat konten di aplikasi lain seperti Snapchat, serta menambah peraturan yang melarang para pengguna untuk menaruh link Snapchat di halaman profil mereka.
Dapat disimpulkan bahwa jika hal ini terus dibiarkan, akan terjadi monopoli dalam jangka waktu dekat ini. Tebak siapa yang akan paling dirugikan dengan semua ini? Kita, para pengguna semua media sosial tersebut. Walaupun kita mungkin tidak menyadarinya, media sosial pada dasarnya sudah menjadi hal inti dari kehidupan sehari-hari kita. Hilangnya alternatif membuat kita terpaksa menggunakan platform-platform tersebut untuk terhubung dengan kolega dan teman sebaya.
Apakah kalian penasaran alasan kita bisa menggunakan semua platform media sosial ini tanpa dipungut biaya sepeser pun? Jawabannya adalah bahwa para perusahaan teknologi tersebut tidak menghasilkan uang dari kita secara langsung, melainkan mereka menggunakan data pribadi kita sebagai komoditas untuk menambah keuntungan. Mereka menjual data-data yang telah mereka kumpulkan tanpa kita sadari kepada para pengiklan. Karena itu, iklan yang muncul di homepage tiap orang berbeda-beda. Setiap orang diberi iklan yang sesuai dengan preferensi dan keinginan bawah sadar masing-masing.
Pengumpulan data ini sangat berpotensi untuk mengakibatkan berbagai macam masalah. Contohnya di Inggris, saat terjadi pemungutan suara Brexit dimana salah satu pihak memanipulasi iklan sosial media milik jutaan orang untuk mendorong para user untuk memilih satu sisi. Pada 2016 di Amerika Serikat, hal serupa terjadi sehingga banyak ahli menduga ini berdampak pada terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Ada juga kebocoran data yang diungkap oleh Edward Snowden. Facebook dan para perusahaan teknologi besar lainnya dengan sukarela menyerahkan data penggunanya di seluruh dunia kepada pemerintah Amerika Serikat. Para user dan pemerintahan negara lain bahkan tidak mengetahui sama sekali tentang hal ini.
Tanpa peraturan untuk mengatur para perusahaan teknologi ini bekerja, mereka dengan mudah bisa bertingkah semaunya. Dipersenjatai dengan modal dan hasil keuntungan yang sangat besar, dengan Facebook meraup $26.1 milyar atau 378,4 triliun rupiah pada kuartal ke-1 2021. Kita semua dan pihak-pihak yang berwenang harus mengambil langkah-langkah penting untuk mengontrol para raksasa perusahaan media sosial ini sebelum sangat terlambat.
-E
Sumber :
https://www.wired.com/story/copycat-how-facebook-tried-to-squash-snapchat/
https://www.vox.com/2018/10/30/18044962/facebook-stories-business-user-growth-q3-earnings-zuckerberg
https://www.wired.com/story/facebook-knows-more-about-you-than-cia/?mbid=social_twitter_onsiteshare
https://www.vox.com/recode/2020/8/5/21354975/tiktok-clone-instagram-reels-facebook-copycat